PT Efunding Teknologi Keuangan - Pioneer Funding Agent Syariah di Indonesia
Pengertian Uang
Berdasarkan fungsi atau penggunaannya, uang secara umum didefinisikan sebagai berikut:
- Uang adalah alat penukar atau standar pengukur nilai yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
- Uang adalah media pertukaran modern dan satuan standar untuk menetapkan harga dan utang (Samuelson).
- Uang adalah apa saja yang secara umum diterima oleh daerah ekonomi tertentu sebagai alat pembayaran untuk jual beli atau utang (Lawrence Abbott).
- Uang adalah (bagian pokok dari) harta kekayaan.
Dalam fikih Islam biasa digunakan istilah nuqud atau tsaman untuk mengekspresikan uang. Definisi nuqud dalam Islam, antara lain:
- Semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi, baik dinar emas, dirham perak, maupun fulus tembaga.
- Segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai yang boleh terbuat dari bahan jenis apa pun.
- Sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.
- Satuan standar harga barang dan nilai jasa pelayanan dan upah yang diterima sebagai alat pembayaran.
Berdasarkan definisi dan teori tentang uang, dapat dipahami secara umum bahwa uang dalam Islam adalah alat tukar atau transaksi dan pengukur nilai barang dan jasa untuk memperlancar transaksi perekonomian. Uang bukan merupakan komoditas. Oleh karena itu motif memegang uang dalam Islam adalah untuk transaksi dan berjaga-jaga bukan untuk spekulasi. Penggunaan uang sesungguhnya diprioritaskan untuk memenuhi kewajiban terlebih dahulu, seperti untuk infaq keluarga, zakat, dan nazar yang jatuh waktu. Setelah itu, uang dapat digunakan untuk kegiatan yang sifatnya sunat (infaq keluarga, sadaqah, waqaf, hibah, wasiat, dan lain-lain), mubah (produksi, perdagangan, kerja sama, pertukaran, dan aspek ekonomi lainnya), serta makruh (memenuhi kebutuhan barang mewah). Sebaliknya, penggunaan uang diharamkan dalam hal ditimbun, digunakan untuk tipu daya, judi/spekulasi, riba, monopoli, bermegah-megahan, dan sebagainya.
Bentuk Uang
“Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu DINAR, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya…”(Ali ‘Imran: 75).
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa DIRHAM saja…”(Yusuf: 20) Menurut pendapat Muhammad Rawas Qal’ah Ji, syarat minimal sesuatu dapat dianggap sebagai uang adalah substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat, dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti Baitul Maal atau bank sentral. Namun pada masa pemerintahan Bani Umayyah (661M), pembuatan uang (dinar dan dirham) bukan merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan. Dalam sejarah Islam, bentuk uang yang digunakan pada umumnya adalah full bodied money atau uang intrinsik, dan nilai intrinsiknya sama dengan nilai ekstrinsiknya (harga uang sama dengan nilainya). Jenis yang umum adalah dinar emas seberat 4,25 gram dan dirham perak seberat 2,975 gram.
Menurut pendapat Muhammad Rawas Qal’ah Ji, syarat minimal sesuatu dapat dianggap sebagai uang adalah substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat, dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti Baitul Maal atau bank sentral. Namun pada masa pemerintahan Bani Umayyah (661M), pembuatan uang (Dinar dan Dirham) bukan merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan. Dalam sejarah Islam, bentuk uang yang digunakan pada umumnya adalah full bodied money atau uang intrinsik, dan nilai intrinsiknya sama dengan nilai ekstrinsiknya (harga uang sama dengan nilainya). Jenis yang umum adalah Dinar emas seberat 4,25 gram dan Dirham perak seberat 2,975 gram.
Sementara itu, uang dalam bentuk fiat money atau uang ekstrinsik adalah uang yang nilai ekstrinsiknya tidak sama dengan nilai intrinsiknya (harga uang tidak sama dengan nilainya). Fiat money berupa uang kertas pernah digunakan pada jaman Pemerintahan Utsmaniah sejak tahun 1254 H dan disebut al-Qai’mah. Namun, setelah beredar selama 23 tahun, pada tahun 1278 H dibekukan karena terlalu banyak fiat money yang sudah beredar sehingga kehilangan kepercayaan masyarakat. Uang kertas kemudian diberlakukan kembali secara paksa pada 1293 H sampai jatuhnya Pemerintahan Utsmaniah pada 1332 H. Pada dasarnya uang yang digunakan dalam Islam adalah uang yang tidak mengandung riba dalam penciptaannya. Bentuknya dapat full bodied money atau fiat money dengan 100% standar emas. Prinsip keduanya sama, yaitu membatasi penciptaan uang sehingga stabilitas nilai uang terjaga. Namun demikian, full bodied money mempunyai keunggulan karena ia memiliki fungsi uang yang sebenarnya, yaitu sebagai penyimpan nilai. Sementara itu, fiat money yang digunakan dalam ekonomi konvensional saat ini tidak dapat dikategorikan sebagai uang yang sah dari kaca mata Islam karena fiat money tersebut tidak memiliki nilai atau tidak di-back up dengan cadangan emas senilai harga yang tercantum dalam uang tersebut. Penciptaan fiat money zaman sekarang mengandung unsur riba karena bertambahnya uang tidak diikuti dengan adanya ‘Iwad (equivalen countervalue berupa risiko, kerja dan usaha, atau tanggungan). Dalam istilah ekonomi konvensional, penciptaan uang baru menimbulkan keuntungan seigniorage yang dinikmati oleh otoritas pencipta uang.
Dalam hal ekonomi, mekanisme survival of the fittest (seleksi alam), telah mendapatkan bentuk idealnya saat mata uang emas menggantikan sistem barter. Mata uang emas diimprovisasi, dimodernisasi yang pada akhirnya di dalam transaksi ekonomi sehari-hari difasilitasi dengan uang kertas, sehingga bisa dicetak seberapapun oleh penguasa dan tidak bisa ditukar dengan koin emas (karena memang tidak ada sekeping pun emas yang sengaja dicadangkan untuk mendukungnya).
Uang kertas ini menjadi berharga dan secara sah berfungsi sebagai alat pembayaran (legal tender) barang dan jasa ataupun utang, karena diterbitkan oleh pemerintah yang diakui. Artinya, kalau pemerintah itu kehilangan kepercayaan, demikian pula yang terjadi dengan uang kertas yang diciptakan. Ia tidak akan berharga, kecuali seharga kertas dan biaya produksi yang diperlukan. Dengan kata lain, uang kertas tidak dapat diandalkan sebagai alat penyimpanan nilai. Karena ia tidak memiliki nilai intrinsik sebagaimana logam mulia. Sedangkan koin emas yang diterbitkan oleh sebuah kerajaan atau pemerintahan tetap bisa beredar dan bernilai, meskipun penguasa yang menerbitkannya sudah sirna. Sebab, koin emas itu bernilai bukan karena dekrit penguasa, melainkan karena ia memang berharga dan memiliki nilai. Pasar yang menghargai, bukan pemerintah.
Namun meskipun koin emas bernilai, tapi di satu sisi ia kurang praktis. Membawa koin emas dalam jumlah besar, selain bulky, juga bisa mengundang kejahatan. Inilah kenapa ide membuat uang kertas mengemuka. Dengan selembar kertas, uang dapat dilipat dan dibawa kemana-mana. Tidak ada suara gemerincing logam beradu. Pembawaannya tidak was-was dan lebih merasa aman.
Karena tidak perlu back up logam mulia, otoritas moneter di negara manapun mudah tergoda untuk mencetak uang seolah tanpa batas. Satu-satunya batas yang harus diperhitungkan adalah menjaga agar uang yang diciptakannya tidak menimbulkan inflasi.
Ketika penciptaan uang melebihi jumlah barang dan jasa atau output riil yang bisa diproduksi, maka fenomena inflasi terjadi. Harga-harga barang dan jasa mengalami tren naik dari waktu ke waktu. Mereka yang hidupnya memiliki sumber penghasilan yang sifatnya tetap, seperti buruh dan pegawai yang paling terpukul oleh dampak yang ditimbulkannya. Itu karena gaji yang mereka terima, nilai riilnya sudah terpotong sekian persen oleh inflasi akibat jumlah uang (fiat money) yang beredar melebihi kapasitas barang dan jasa yang tersedia.
Uang dalam Sistem Ekonomi Islam
Sepanjang sejarah kegiatan ekonomi Islam, pentingnya keberadaan uang ditegaskan oleh pendapat Rasulullah SAW yang menganjurkan dan menyebutkan bahwa perdagangan yang lebih baik (adil) adalah perdagangan yang menggunakan media uang (dinar atau dirham), bukan pertukaran barang (barter) yang dapat menimbulkan riba ketika terjadi pertukaran barang sejenis yang berbeda mutu. Dengan keberadaan uang, hakikat ekonomi (dalam perspektif Islam) dapat berlangsung dengan lebih baik, yaitu terpelihara dan meningkatnya perputaran harta (velocity) di antara manusia (pelaku ekonomi). Dengan keberadaan uang, aktivitas zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kharaj, jizya hushr, dan lain-lainnya akan menjadi lebih lancar dan optimal pelaksanaannya. Dengan keberadaan uang juga, aktivitas sektor swasta, publik, dan sosial dapat berlangsung dengan akselerasi yang lebih cepat (Sakti, 2006).
Islam sangatlah menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran. Salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu adalah barter, di mana barang saling dipertukarkan. Rasulullah SAW menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran barter ini. Beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu, beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.
Kebijakan Rasulullah dalam hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Atha Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said al-Khudri. Ternyata, Rasulullah tidak menyetujui transaksi dengan sistem barter untuk barang sejenis, tetapi berbeda kualitasnya. Untuk itu, beliau menganjurkan penggunaan uang. Tampaknya, beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur ‘riba’ di dalamnya.
Sedangkan dalam ekonomi konvensional, sistem bunga dan fungsi uang yang dapat disamakan dengan komoditas menyebabkan timbulnya pasar tersendiri dengan uang sebagai komoditasnya dan bunga sebagai harganya. Pasar ini adalah pasar moneter yang tumbuh sejajar dengan pasar riil (barang dan jasa) berupa pasar uang, pasar modal, pasar obligasi, dan pasar derivatif. Akibatnya, dalam ekonomi konvensional timbul dikotomi sektor riil dan moneter. Lebih jauh lagi perkembangan pesat di sektor moneter telah menyedot uang dan produktivitas atau nilai tambah yang dihasilkan sektor riil sehingga sektor moneter telah menghambat pertumbuhan sektor riil, bahkan telah menyempitkan sektor riil, menimbulkan inflasi, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dikotomi sektor riil dan moneter tidak terjadi dalam ekonomi Islam karena tidak digunakannya sistem bunga dan dilarangnya memperdagangkan uang sebagai komoditi sehingga corak ekonomi Islam adalah ekonomi sektor riil, dengan fungsi uang sebagai alat tukar untuk memperlancar kegiatan investasi, produksi, dan perniagaan di sektor riil.
Pada dasarnya, Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan komoditas atau barang dagangan. Oleh karena itu, motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading.
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation. Hal ini karena spekulasi tidak diperbolehkan. Uang pada hakikatnya adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan kita dan masyarakat. Oleh karenanya menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) tidak dikehendaki karena berarti mengurangi jumlah uang beredar. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan musyarakah atau mudharabah, yaitu bisnis dengan konsep bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil risiko yang mungkin timbul karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qardh, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.
Secara mikro, qardh tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan, tapi secara makro, qardh akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qardh membuat velocity of money bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian sehingga pendapatan nasional meningkat. Karena pendapatan nasional meningkat, si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Hal ini karena purchasing power aggregate masyarakat meningkat. Demikian pula untuk pengeluaran sedekah, yang juga akan memberikan manfaatyang kurang lebih sama dengan pemberian qardh.
Islam tidak mengenal konsep time value of money. Islam mengenal konsep economic value of time, artinya yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh-bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw., adalah orang-orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang.
Dapat dijelaskan, bila barang dijual tunai dengan keuntungan Rp500,00, si penjual dapat membeli lagi dan menjualnya kembali, sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah sebesar Rp1.000,00. Adapun bila dijual tangguh-bayar, hak penjual tertahan sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjualnya lagi. Akibatnya lebih jauh dari itu, hak keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu akan tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai.
0 Comments